Rabu, 06 April 2011

Dari Diskusi Forum Pemred GJP (3/Habis)

Dwi Langsung Tersentuh Dikabarkan soal Masjid Raya

Direktur Utama PT Semen Gresik Dwi Soetjipto, tentu bukan sosok yang asing bagi Sumatera Barat. Sebaliknya diakui Dwi, Sumbar telah memberikan kesan dan pengalaman yang tak mungkin dilupakan seumur hidupnya. Pekan lalu, dalam diskusi dengan para pemimpin redaksi (165) media Grup Jawa Pos (GJP), di Bandung, mantan Direktur Utama PT Semen Padang, ini berkisah tentang pengalaman meniti karir, sampai sukses ke pucuk pimpinan Semen Gresik.

”Rentang 1995-2005, adalah masa-masa sulit. Tak hanya bagi grup (Semen Gresik, Semen Padang, Semen Tonasa), tapi juga bagi saya,” kata Dwi. Ia lalu mengenang bagaimana hebatnya kisruh yang terjadi ketika itu. Lebih dari setengah jam, jebolan Magister Managemen Universitas Andalas, ini khusus menceritakan peristiwa itu. ”Sampai-sampai saya berpikir untuk menolak jabatan sebagai Direktur Utama (Semen Padang),” ujar Sarjana Teknik Kimia Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, yang sekarang sudah menjadi doktor ini. 

Peristiwa yang disebut Dwi itu adalah masa konsolidasi Semen Gresik, Semen Padang, dan Semen Tonasa melalui metode akuisisi saham. Puncaknya, adalah ketika Dwi ditunjuk sebagai Direktur Utama PT Semen Padang, tahun 2003. Padahal saat bersamaan, masyarakat Sumbar tengah bersatu menuntut pemisahan (spin off—istilah yang sangat populer waktu itu) dari Semen Gresik. Kondisi makin keruh dengan masuknya investor asing (CEMEX).

Demo masyarakat, dan karyawan Semen Padang, hampir setiap hari terjadi.Beratnya lagi, Dwi juga diperintahkan untuk mengganti seluruh manajer, dan menyusun direksi baru. Dia harus berhadapan dengan rekan-rekan kerjanya sendiri, terutama tentu saja mantan atasannya. Maklum, sebelum ditunjuk sebagai Dirut, Dwi memulai karirnya di Semen Padang dari bawah. Jabatan yang pernah dipegangnya adalah Kepala Departemen Litbang Semen Padang (1990-1995), Direktur Litbang Semen Padang (1995-2003), dan Komisaris Utama PT Igasar (1998-2003). ”Sejak awal, saya sudah merasa pasti akan ribut luar biasa. Padahal berhasilnya belum tahu. Waktu itu saya berhitung kalau berhasil (membenahi) Alhamdulillah, kalau tidak ya saya cari pekerjaan lain,” ucap Dwi.

Menurut Dwi, beberapa karyawan yang loyal padanya ada yang sampai stres karena ketakutan luar biasa. Ada pula yang mau mengundurkan diri karena tidak tahan dengan tekanan yang cukup berat ketika itu. “Saya terus membesarkan hati mereka dan menguatkan untuk tetap bertahan. Sebab kalau sampai terjadi (ada staf yang keluar), bakal tambah kacau dan menjadi preseden buruk terutama soal kepercayaan,” kenang Dwi.

Tak sampai di situ, tekanan juga mengarah ke anak dan istri Dwi. Rumahnya di Kompleks Semen Padang dijaga ketat oleh polisi sepanjang hari. Dia sempat menganjurkan kepada anak dan istrinya untuk pindah dulu ke Surabaya. Jika keadaan sudah stabil, baru kembali lagi. “Kata anak saya yang SMP (ketika itu), kan Papa yang didemo, mengapa kami harus takut. Terus terang, ini menguatkan saya,” tutur Dwi.

Hampir beberapa bulan lamanya, Dwi seperti terisolasi. Ia selalu mendapat pengawalan, dan bekerja di bawah tekanan aksi unjuk rasa. Media juga tak ada yang mau mewawancarai atau mengutip komentarnya. ”Awalnya hanya ada beberapa wartawan media nasional. Sampai akhirnya saya bertemu dengan Pak Zaili (Sutan Zaili Asril), dan Pak Cici (Wiztian Yoetri) dari Padang Ekspres. Mereka lah yang membantu saya, mengutip komentar dan pendapat saya di Padang Ekspres. Baru kemudian suasana makin kondusif, wartawan media lokal lainnya berani memuat saya,” ungkap Dwi.

Perlahan-lahan Dwi berusaha keras menumbuhkan kepercayaan internal, maupun ekstrenal (masyarakat). Ia rajin mendatangi kegiatan dan hajatan karyawan, dan masyarakat. Bahkan, dia tidak segan-segan ikut perayaan 17 Agustusan seperti main sepak bola sarung bersama masyarakat. ”Lambat laun kepercayaan pulih. Memenej perusahaan menjadi semakin mudah, dan sejumlah program bisa dijalankan,” paparnya.

Sampai di Puncak

Sukses membenahi Semen Padang, tahun 2005 Dwi dipercaya menjadi Direktur Utama PT Semen Gresik. Sinergi tiga perusahan semen tersebut makin diperkuat. Tahun 2004, Semen Gresik Group memproduksi semen 15,8 juta ton, dan meningkat tajam pada 2009 menjadi 19 juta ton. Pendapatan otomatis melonjak, dari Rp6,1 triliun menjadi Rp14,4 triliun. “Ini setelah kita mengubah mindset semua pimpinan dan karyawan, serta strategi pemasaran dalam pembagian wilayah,” jelas Dwi. 

PT Semen Padang menguasai pasar Indonesia wilayah barat, Semen Gresik di tengah, dan Semen Tonasa di Timur. ”Sebelum strategi ini berjalan, malah ada yang bangga, produk Semen Padang bisa dijual di Bali. Lho jelas rugi,” ujar Dwi sambil tersenyum mengenang kekeliruan di masa lalu. Kini, semuanya sudah berjalan pada jalur yang benar. Semen Gresik Group memanfaatkan seluruh keunggulan seperti lokasi strategis, jangkauan distribusi, brand image, bahan baku, dan kondisi keuangan yang sehat.

”Setidaknya keuntungan tahun 2010, dua kali lipat dari keuntungan 2009,” ujar Dwi, yang pada 2010 dinobatkan sebagai Tokoh Finansial Terbaik Indonesia (TFI). Sekarang Dwi fokus mengejar target kapasitas produksi 55,8 juta ton pada 2011. Ini untuk memenuhi kebutuhan domestik sekitar 43,6 juta ton, dan kebutuhan ekspor sekitar 2,5 juta ton.

Dwi memang telah mencapai puncak karirnya sebagai pengurus perusahaan semen. Ia memimpin perusahaan semen terbesar di Indonesia. Tapi seperti di awal tulisan ini, Dwi mengaku tetap tak akan pernah bisa melupakan Sumbar. Setidaknya ini tercermin dari janji Dwi, ketika penulis mengabarkan bahwa Masjid Raya Minangkabau, di Padang masih terbengkalai. Ia langsung tersentuh, dan merespons, ”Saya akan cek dan pastikan bantuannya. Ya, masjid itu harus kita bantu.” (montosori)
Padang Ekspres • Jumat, 01/04/2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar