Rabu, 06 April 2011

Militer Halangi Syafruddin Jadi Pahlawan Nasional

Sumbar Harus Galang Petisi ke Pemerintah

Perjuangan masyarakat Sumbar menuntut pengakuan sejarah Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dan Syafruddin Prawiranegara sebagai pahlawan nasional sudah cukup panjang. Sudah banyak pula tulisan para pakar, dan sejarawan, serta pelaku sejarah tentang hal itu. Sejauh ini yang mendapat pengakuan melalui Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2006, baru PDRI. Sementara Syafruddin, sang presiden, 'hanya' dianugerahi Bintang Republik Adipradhana.

Pengusulan Syafruddin sebagai pahlawan nasional, selalu ditolak pemerintah pusat. ”Telah dua kali kita mengusulkan. Pertama 2007, dan kedua 2009. Keduanya ditolak,” kata Guru Besar Universitas Padjadjaran Bandung Prof Nina Herlina Lubis saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional ”Satu Abad Mr Syafruddin Prawiranegara” di Istana Bung Hatta, Bukittinggi, Minggu (3/4/2001).

Menurut Nina Lubis, usulan pertama diajukan Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran (Unpad) bekerja sama dengan DHD ’45 Sumbar tanggal 12 April 2007. Usulan juga didukung rekomendasi Gubernur Jawa Barat, Gubernur Sumatera Barat, DHD ’45, dan LVRI. 

”Setelah usulan disampaikan, Tim Penilai Badan Pembina Pahlawan Pusat (BPPP), akhirnya meloloskan usulan tersebut. Namun, sungguh tragis dalam surat dari Sekretaris Militer dinyatakan bahwa Mr Syafruddin Prawiranegara cukup dianugerahi Bintang Republik Adipradana,” kata Nina Lubis. Sedangkan usulan kedua menurut Nina, diajukan 16 Juni 2009 lalu. Waktu itu yang mengajukan usulan adalah MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) Cabang Jawa Barat bekerja sama dengan Badan Pembina Pahlawan Daerah Provinsi Jabar.

”Yang membuat kami marah, pengusulan kali ini sudah disetujui hingga ke tingkat Dewan Gelar, namun pada titik akhir ditolak juga dengan alasan yang sama. ”Pembisik” presiden juga orang yang itu, TNI,” ujar Nina Lubis.

Karena penasaran Nina Lubis akhirnya mencoba mengecek penyebab utama kegagalan pengusulan Syafruddin sebagai pahlawan nasional. Rupanya, sebelum usulan sampai ke presiden ada kamar kecil yang harus dilewati. Kamar kecil itu dihuni oleh mereka yang berasal dari militer. Mereka inilah yang tidak setuju Syafruddin diangkat sebagai pahlawan nasional.

”Mereka Menganggap Syafruddin sebagai pemberontak dalam PRRI. Padahal tahun 2008, Moh Natsir yang diberi stigma sama dengan Mr Sjafruddin Prawiranegara, dapat diangkat sebagai pahlawan nasional,” beber Nina Lubis.

Nina Lubis tidak sepakat dengan penilaian bahwa Syafruddin pengkhianat dan PRRI disebut sebagai pemberontakan. Menurut Nina, PRRI bukanlah sebuah pemberontakan. Sebab, PRRI dalam perjuangannya tidak pernah menyebut negara. PRRI menuntut Soekarno kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 sekaligus menetapkan kabinet baru di bawah pimpinan Sultan Hamengkubowono dan Bung Hatta. ”PRRI dibuat untuk mencegah terjadinya negara federal,” katanya.

Pendapat serupa disampaikan tiga pembicara lainnya, Prof Mestika Zed (sejarawan dari Universitas Negeri Padang), Dr Fadli Zon (tokoh muda Sumbar/mahasiswa Program Doktor Sejarah UI), dan Ismael Hassan (pelaku sejarah). Mereka satu suara menegaskan bahwa PRRI adalah bentuk koreksi ketidakadilan pemerintah pusat terhadap daerah. ”Kemunculan PRRI dapat dilihat sebagai puncak pernyataan ketidakpuasan dari dewan-dewan perjuangan di luar Jawa dengan nama berbeda-beda di masing-masing daerah terhadap rezim Soekarno di Jakarta yang semakin otoriter dan yang didukung PKI,” kata Mestika Zed ketika menyampaikan makalah berjudul Politics of Memory (Syafruddin Prawiranegara dalam Dua Zaman: PDRI dan PRRI).”

Era PRRI berlangsung sekitar 10 tahun setelah PDRI (1958-1961). Sebelumnya, dewan-dewan perjuangan di luar Jawa itu sudah lama memperingatkan agar Soekarno kembali ke jalan konstitusi, tetapi rupanya tidak diindahkan.

Peringatan keras dari dewan daerah itu bukannya ditanggapi dengan jalan dialog dan berunding, tetapi dengan memerangi PRRI. Kelompok militer, yang dikirim pusat, sebagian sudah disusupi PKI, menyerbu kedudukan PRRI tanpa ampun. Semua angkatan (darat, laut dan udara plus kepolisian dan brimob) dikerahkan. Kedudukan PRRI di Padang, Bukittinggi, dan Riau dibombardir. Pada saat yang sama rekan-rekan mereka di dewan daerah di Sulawesi (Permesta) juga mengalami pukulan serupa. Menurut catatan sejarah, inilah eksperimen militer terbesar pertama pascaperang kolonial. Sejak itu terjadilah ”perang saudara”, sesama pejuang yang tadinya sama-sama melawan musuh bersama: Belanda. 

Fadli Zon mengusulkan, agar tokoh masyarakat Sumbar menggalang petisi kepada pemerintah. ”Ini saya akan lebih cepat,” kata Fadli yang dikenal gigih mememperjuangan Syafruddin sebagai pahlawan nasional. Sementara itu, Nina mengusulkan agar semua kepala sekolah membuat rekomendasi mendukung Syafruddin sebagai pahlawan nasional. Sejauh ini sudah tujuh kali seminar diadakan di Sumbar, Jakarta, dan Bandung. Khusus memperingati Seadab Mr Syafruddin Prawiranegara (1911-2011) diadakan lagi seminar di berbagai kota, seperti di Jakarta, Bukittinggi, Banda Aceh, Yogyakarta, Semarang, Serang, Manado, dan Bandung. ”Totalnya 15 kali seminar. Masa ditolak lagi.”Peserta langsung bertepuk tangan. (mon/frv)
Padang Ekspres • Senin, 04/04/2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar