Rabu, 06 April 2011

Dari Diskusi Forum Pemred GJP (1)

M. Nuh: Yang Miskin Mesti "Diintervensi"

Akhir bulan lalu, para pemimpin redaksi (165) media Grup Jawa Pos (GJP) berdiskusi di Bandung, Jawa Barat. Sejumlah menteri, dan pimpinan BUMN yang dinilai sukses, dihadirkan. Di antaranya, adalah Mendiknas Muhammad Nuh, Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar, yang orang Padang, dan Direktur Utama PT Semen Gresik Dwi Soetjipto, mantan Direktur Utama PT Semen Padang. Berikut hasil diskusi dengan tiga pembicara tersebut.
Prof Dr Ir M Nuh DEA, menteri yang dikenal polos, itu memulai pembicaraannya di depan para pemimpin redaksi GJP dengan menyebut kata kunci, ”Tak usah khawatir.” ”Saya selalu bilang ke pejabat dan staf di Kementerian Pendidikan, rumusnya adalah jangan khawatir. Jangan khawatir kehabisan persoalan,” kata M Nuh, yang disambut tawa pemimpin redaksi.

Ketika itu, mantan Menkominfo di Kabinet Indonesia Bersatu I, ini memang sedikit bercanda. Tapi sebetulnya, apa yang disampaikan itu banyak benarnya. Masalah pendidikan, seperti tak mau selesai. Tuntas yang A, masalah yang B telah menunggu. Selesai B, A bermasalah lagi. Belum lagi C, D, dan seterusnya.

Setahun lebih dipercaya memimpin Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), profesor bidang Ilmu Digital Control System dengan spesialisasi Sistem Rekayasa Biomedika, ini merasakan betul betapa banyaknya masalah. Mulai dari standar kelulusan ujian nasional yang terus diperdebatkan sejumlah kalangan, penyaluran dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang berubah-ubah, sekolah rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) yang dinilai sarat aroma diskriminatif, sampai pada praktik pungutan liar di sekolah-sekolah. 

”Pendidikan itu mengurusi manusia, dan masalah adalah bagian dari manusia. Sepanjang masih ada manusia, persoalan akan tetap ada. Jadi, masalah itu jangan dikhawatirkan, solusinya yang harus dicari,” kata menteri berusia 52 tahun ini.

Pendidikan berkaitan erat dengan ilmu. Dan, ilmu pengetahuan tidak akan pernah menemui titik batas. Ia selalu berkembang. Kalau sekarang, lanjut M Nuh ada jawabannya, pasti hal baru akan muncul lagi. ”Pendidikan juga terkait dengan masa depan yang tidak bisa dipastikan A, B, C, atau D. Pasti ada variasi-variasi. Dinamikanya luar biasa. Persoalan kita sudah sangat banyak, maka jangan mempersoalkan persoalan itu. Mari bersama-sama mencari jawabannya,” ajak penulis buku berjudul Strategi dan Arah Kebijakan Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi, yang disingkat Indonesia-SAKTI ini.

Pada kesempatan itu, M Nuh juga seperti menyindir pihak-pihak yang selama ini hanya memunculkan persoalan, tapi tak pernah memberikan cara penyelesaian. ”Yang membedakan orang terdidik, dan tidak terdidik adalah dilihat dari orientasinya ketika bertemu persoalan. Orang terdidik berpikir bagaimana menyelesaikan persoalan, sedangkan orang tidak terdidik terus mencari-cari permasalahan,” ujar M Nuh.yang sebenarnya tertutupi. ”Terdidik atau tidak terdidik itu tidak ada hubungannya dengan gelar insinyur, doktor atau profesor, tetapi dilihat dari orientasi dia terhadap masalah,” tegas M Nuh.

Persoalan Pendidikan

Menjawab masalah standar kelulusan UN yang terus diperdebatkan, M Nuh menyatakan, Kemendiknas tak akan mengubah keputusan tersebut. Sebab, kata M Nuh, untuk menguji kemampuan siswa mesti harus ada standar yang jelas. ”Ada yang mengusul standar kelulusan di kota dibedakan dengan yang di daerah terpencil. Ini yang salah, UN itu kan tidak menguji sekolahnya, tapi siswanya. Kalau kita bedakan ini sangat berbahaya. Berarti kita sudah melakukan discrimination by design,” tutur M Nuh.  

Walau begitu, kata M Nuh, bukan berarti ketimpangan sarana dan prasarana antara di kota dan daerah terpencil, dibiarkan. Secara berkelanjutan, gedung sekolah, pustaka, labor, dan kualitas guru di daerah-daerah terus ditingkatkan.

Tentang penyaluran dana BOS yang berubah-ubah, sehingga terjadi keterlambatan pencairan, M Nuh menyatakan, semua itu adalah amanat undang-undang. ”Ada yang bilang dulu sudah bagus dana BOS disalurkan langsung ke sekolah, tapi sekarang diubah lagi masuk ke kas daerah. Masalahnya adalah selama ini kita telah melanggar undang-undang. Yang punya sekolah itu kan daerah yang sudah berotonomi. Makanya, mereka yang berhak menyalurkan ke sekolah,” jelas M Nuh.  

Soal keterlambatan, menurut M Nuh, sangat tergantung dari daerah itu sendiri. Sebab, walau berubah, banyak juga daerah yang bisa mencairkan dana BOS hanya dalam hitungan tiga hari. ”Yang lain kok tidak bisa?”

Agar penyaluran dana BOS cepat dan efektif, tiga kementerian (Kemendiknas, Kemendagri, dan Kemenkeu) telah sepakat menjatuhkan sanksi bagi daerah yang telat. Tapi sanksinya buka memotong dana BOS. ”Masak karena kelalaian pejabatnya, anak-anak miskin yang jadi korban. Yang benar itu, sanksinya adalah mengurangi proyek-proyek Kemendiknas untuk daerah yang penyaluran dana BOS-nya terlambat,” tegas mantan Rektor ITS, Surabaya ini.

Menjawab masalah RSBI yang dinilai banyak diskriminatif di daerah, M Nuh tak membantah. Menurut M Nuh, saat ini Kemendiknas memang sedang mengevaluasi sekitar 1.300 RSBI di seluruh Indonesia. Ia menekankan, RSBI memang dimaksudkan untuk tahapan menjadikan sekolah berstandar internasional. Oleh karena itu, siswa yang masuk RSBI mesti diseleksi. ”Yang diseleksi itu bukan kemampuan finansial siswa, tapi kemampuan otaknya. RSBI juga wajib menerima 20 persen siswanya, dari siswa tidak mampu secara ekonomi,” ujar M Nuh.

Tentang bahasa pengantar yang dipaksakan menjadi Bahasa Inggris, menurut M Nuh, juga keliru. Tak boleh ada bahasa lain yang mengalahkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pendidikan di Indonesia. ”Tapi untuk beberapa mata pelajaran tertentu boleh Bahasa Inggris,” tandasnya.

Soal praktik pungutan liar di sekolah-sekolah yang masih terjadi, M Nuh mengaku, memang banyak menerima informasi tersebut. Kalau dulu ada guru dan pihak sekolah yang melakukan pungli dengan kedok menjual buku. Setelah ada BOS Buku, kini muncul pungli dengan kedok jual beli LKS (Lembar Kerja Siswa). ”Kita sedang mempertimbangkan, kenapa sekalian LKS itu tidak kita (pemerintah) beli saja. Kan bisa digabung ke dalam buku, ya sekalian ditambah BOS Buku,” jelas M Nuh. 

Tak Boleh Marah

Mendiknas juga menawarkan rumus untuk pengelola pendidikan, yakni tidak boleh marah kalau dikritik. Sebab, kata M Nuh, dalam urusan pendidikan semua terlibat, semua punya kepentingan. Sehingga seakan-akan semua bisa. ”Kita fokus saja bekerja, tidak perlu marah dengan kritik,” katanya.

Tentang program besar yang strategis, dia mengatakan, Kemendiknas kini sedang fokus pada strategi pendidikan jangka panjang hingga 2045, di mana saat itu Indonesia tepat berulang tahun ke-100.
”Pendidikan adalah faktor penting mencapai kesejahteraan. Tugas kami adalah merumuskan pendidikan untuk mobilitas vertikal, sosial, ekonomi, budaya,” kata M Nuh. Ia berharap, kaum miskin di Indonesia bisa terangkat taraf hidup dan ekonominya dengan diberi kesempatan sekolah hingga perguruan tinggi. Karena telah ditemukan fakta, bahwa di Indonesia sebagian besar kaum menengah sekarang berasal dari kalangan miskin pada 30 tahun lalu. ”Dulunya miskin, karena sekolah hingga sarjana, dia menjadi CEO perusahaan pada usia 44 tahun. Dengan fakta ini, saya merumuskan agar dunia pendidikan harus lebih ramah secara sosial,” katanya.

Mendiknas melanjutkan, 70 persen alasan siswa putus sekolah, karena faktor ekonomi. Bukan hanya tidak mampu membayar biaya sekolah, tetapi juga karena beban biaya hidup. Solusinya, Kemendiknas menggenjot beasiswa dari SD hingga perguruan tinggi. Salah satunya, perguruan tinggi negeri diwajibkan menerima mahasiswa miskin 20 persen dari total mahasiswanya. ”Yang terbaru, adalah beasiswa bidik misi. Mahasiswa miskin itu dibiayai selama 4 tahun kuliah, ditambah uang saku Rp600 ribu per bulan. Pada 2010, terdapat 20.000 mahasiswa miskin dibiayai,” kata Mendiknas.

Kemendiknas menargetkan, dari beasiswa itu pada 2014, akan ada 50.000 anak miskin menjadi sarjana. ”Ini bentuk intervensi kebijakan pemerintah mengangkat orang miskin agar naik menjadi kelas menengah. Kalau intervensi ini tidak dilakukan, maka pemerintah bisa disalahkan atas proses pemiskinan sistematik.” (montosori)
Padang Ekspres• Rabu, 30/03/2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar