Selasa, 15 Maret 2011

Tigo Tungku Sajarangan

oleh Montosori

Eksistensi “Tigo Tungku Sajarangan, Tigo Tali Sapilin” (Ninik Mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai) masih sangat dibutuhkan. Khusus peranan dalam pembangunan, dan untuk kemajuan Sumbar, sejak dulu hingga kini memang tak terbantahkan. Namun, sejalan bergulirnya waktu, berkembangnya zaman, majunya teknologi di semua bidang, peran itu mulai tergerus. Tak pelak, bila “Tigo Tungku Sajarangan” tak mengikuti semua perkembangan itu, suatu ketika—ini yang paling ditakutkan—bukan tidak mungkin, “Tigo Tungku Sajarangan” hanya tinggal simbol.

Bicara “Ninik Mamak” (pemuka dan tokoh adat) sekarang, bukan rahasia lagi, cukup banyak yang tak lagi mampu memerankan “status” itu.  Banyak yang disebut “Ninik Mamak”, yang tak bisa menjadi panutan para anak kemenakan (baca: generasi muda). Tak jarang seorang “Ninik Mamak”, hanya tinggal nama saja, sementara eksistensinya (untuk kemajuan) tidak ada. Jangankan untuk nagari atau daerah, untuk kaumnya sendiri ia tak berfungsi.
Seorang “Ninik Mamak” sekarang, tidak hanya dituntut bisa menempatkan diri layaknya seorang “Ninik Mamak”. Bicaranya didengar karena bermakna kebaikan, dan tingkah-lakunya dicontoh, karena dia panutan. Tapi lebih dari itu, seorang “Ninik Mamak” harus bisa mentransformasi nilai-nilai adat dan budaya, kepada para anak kemenakan.
Karena itulah, di sini “Ninik Mamak” harus menyesuaikan diri sekaligus mengikuti perkembangan zaman, dan kemajuan teknologi. Inilah salah satu hakikat dari “Sakali aie gadang, sakali tapian barubah”.

Begitu pula “Alim Ulama” (kalangan agamawan). Ia berperan di sektor yang paling sentral, yakni moral, etika, dan bathiniah. Ia dituntut mampu mengarahkan, dan membawa masyarakat untuk senantiasa berbuat kebaikan, atau hal-hal yang positif. Persoalannya sekarang, para “Alim Ulama” tak sepenuhnya didengar, dan dipatuhi. Parahnya, pengajian, ceramah agama jalan, maksiat juga meraja lela. Di sinilah “Alim Ulama” itu dituntut, agar mampu mengkomunikasikan dan menyampaikan nilai-nilai agama, sehingga bisa diterima dan diikuti.

Seorang “Alim Ulama” misalnya, tak hanya harus berceramah secara konvensional (ceramah di masjid/surau) dengan berdiri di atas mimbar. Tapi, ia juga bisa berbagi pengajian lewat instrumen lain. Misalnya melalui internet, dialog interaktif, dengan berbagai variasi (tentunya tetap berpedoman pada agama). Bahasa dalam berkomunikasi pun tak zamannya lagi monoton. Seorang “Alim Ulama” dituntut mampu tampil dengan hal-hal yang menarik, sehingga jauh dari hal-hal yang membosankan.

Aa Gym, Jefri Albuchori, Ary Ginanjar, adalah contoh ulama-ulama yang sukses berkomunikasi dengan variasi yang diterima oleh masyarakat masa kini. Sehingga, pengajian tak dirasakan sebagai hal yang membosankan. Sebaliknya, malah ditunggu, dibutuhkan, dan pada akhirnya tercermin dalam perilaku sehari-hari. Itu yang diharapkan!    
 
Tak jauh beda dengan “Cadiak Pandai” (kalangan teknokrat/pendidikan). Perannya sangat menentukan perkembangan dan kemajuan daerah Sumbar. Ia sangat dituntut untuk peka terhadap berbagai persoalan. Sehingga pada akhirnya ia bisa menawarkan solusi. Apa saja masalahnya, “Cadiak Pandai” mesti mengambil peran. Bicara perkembangan zaman, kemajuan teknologi ialah ahlinya. Masalah kemiskinan, rendahnya teknologi, harus menjdi tanggung jawabnya. Bagaimana sekarang? Meski telah berbuat, perannya dirasakan belum optimal?

Tapi, “Cadiak Pandai” tak bisa begitu saja dipersalahkan, bila belum mampu menawarkan solusi terhadap berbagai persoalan. Sebab, ia berperan butuh dukungan, terutama dana. Misalnya, kalangan peneliti dan orang perguruan tinggi. Mustahil, ia bisa menawarkan berbagai temuan atau teknologi baru, tanpa ada proses penelitian yang butuh dana. Tapi kita juga tak bisa menutup mata, bahwa masih ada kalangan (oknum) pergurun tinggi, yang tak peduli pada daerah ini.

Untuk mendesak agar “Tigo Tungku Sajarangan” berperan lebih besar lagi dalam pembangunan untuk kemajuan Sumbar, tentunya harus sejalan pula dengan peranan pemerintah sebagai fasilitator dan eksekutor. Tanpa ruang, waktu yang disediakan pemerintah, kecil kemungkinan peranan “Tigo Tungku Sajarangan” ini efektif. Makanya, pemerintah dan “Tigo Tungku Sajarangan” harus senantiasa sinergi untuk Sumbar yang lebih baik. Tanpa itu, “Tigo Tungku Sajarangan” hanya tinggal simbol, dan Sumbar akan begini-begini saja. Kita tunggu, apa yang akan dilakukan pemerintah bersama “Tigo Tungku Sajarangan” ini! Adat dan budaya lestari, daerah maju, dan masyarakat sejahtera. (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar