oleh Montosori (10 Maret 2011)
Seni memimpin adalah seni mengatakan “tidak”, karena mengatakan “ya” itu sangat mudah.
(Tony Blair, mantan Perdana Menteri Inggris)
Ini cerita fiksi lama yang punya banyak pesan. Kisahnya tentang bangsa tikus—di Minang disebut mancik—sedang menghadapi masalah besar. Keselamatan dan keberlangsungan hidup mereka sedang terancam. Bangsa kucing yang biasa memangsa mereka semakin ganas, merajalela. Hampir setiap hari ada saja rumah (sarang) mancik yang diobrak-abrik. Hampir setiap saat jatuh korban, karena keganasan bangsa kucing.
Raja mancik yang terkenal “bijaksana” dan dermawan, hanya karena selalu memenuhi
keinginan rakyatnya, lalu menggelar rapat mendadak. Semua tokoh, pemikir, pengamat, dan aktivis bangsa mancik dikumpulkan. Semua yang hadir diharapkan menyampaikan pendapat untuk mengatasi serangan bangsa kucing yang semakin ganas, dan semakin canggih.
“Ini tak dapat dibiarkan,” kata Raja mancik dengan suara penuh wibawa. “Kita harus melakukan sesuatu untuk menghentikan kebiadaban kucing. Demi keselamatan, dan demi generasi kita,” Raja mancik melanjutkan.
“Tapi berbagai cara telah kita lakukan yang mulia, tetap saja tak berhasil,” salah seorang peserta rapat menyela. “Pasti ada cara lain,” jawab Raja mancik.
“Siapa yang punya usul,” Raja mancik memberi kesempatan pada peserta rapat menyampaikan pendapat. Hampir semua peserta rapat bersuara. Satu per satu mereka berdiri menyampaikan saran, ide, dan pendapat. Ada yang mengusulkan, agar bangsa mancik sudah saatnya angkat senjata. Perang melawan bangsa kucing. Sebab selama ini bangsa mancik telah banyak bersabar. “Apa mungkin? Dengan apa kita akan melawan bangsa kucing yang berbadan besar, kuat, bertaring dan berkuku tajam itu,” kata salah seorang peserta rapat mematahkan usul perang tersebut.
Ada pula yang mengusulkan sebaiknya bangsa mancik mengungsi saja. Sebab semua lorong-lorong yang biasanya menjadi rumah mancik sudah diketahui bangsa kucing. “Ke mana akan pindah? Bangsa kucing itu ada di mana saja. Jangan-jangan di tempat yang baru kucingnya lebih ganas,” kata mancik lainnya.
Raja mancik yang sedari tadi memperhatikan rapat, hanya diam saja. Keningnya bekerut, tanda ia berpikir keras. Sesekali ia memegang jidatnya. Ia bingung. Sudah sejam rapat, sudah sekian banyak usul, tapi tak satupun yang dianggap tepat menyelesaikan persoalan.
Lalu di tengah kebuntuan itu, tiba-tiba masuk seekor mancik berbadan besar, bernama si Bagak. Ia selama ini terkenal sebagai mancik yang banyak ulah. Tapi karena ia bagak (berani berkelahi), tak satu pun mancik lain yang berani melawan. Bahkan kalau ada kebijakan Raja mancik yang tidak sesuai dengan kepentingannya, dia tak segan-segan “melawan”. Memprovokasi mancik lainnya menggelar unjuk rasa. Sehingga, Raja mancik yang memang terkenal tak suka berpolemik, sering mengiyakan saja kemauan mancik yang satu ini.
Apalagi sejak sepuluh tahun terakhir, Raja mancik yang memang terobsesi dengan perubahan zaman mengubah konsep kepemimpinannya dari absolut menjadi: dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (demokrasi). Tapi dalam aplikasinya, Raja mancik sering “kebablasan”, dan keliru. Raja mancik senantiasa memenuhi semua kemauan rakyatnya. kadang tak peduli apakah itu hanya kemauan segelintir mancik, atau memang kemauan mayoritas mancik.
Karena sikap Raja mancik seperti itu pula, tak jarang beberapa mancik mengambil “manfaat” untuk kepentingan pribadi mereka. Bila kebijakan raja tak menguntungkan, cukup membayar si Bagak. Unjuk rasa, lalu menekan raja. Selanjutnya, tahu beres, raja pasti menuruti. Akibatnya, raja mancik lebih sibuk mengurus keinginan-keinginan masing-masing rakyatnya yang beragam, ketimbang membangun pertahanan—termasuk perlindungan dari tikus—dan memenuhi kebutuhan makanan rakyatnya untuk jangka panjang.
Kembali ke rapat mancik. Di tengah kebingungan raja, si Bagak bersuara dengan lantang. “Saya pikir masalah ini tak terlalu rumit,” kata si Bagak penuh percaya diri. Mendengar itu terang saja mancik yang lain seperti tak percaya. Sudah jelas tiap hari ada mancik yang mati, bisa-bisanya si Bagak menganggap sebagai masalah kecil.
“Masalahnya kan cuma soal serangan kucing itu yang tidak kita ketahui. Kalau kita tahu lebih awal, pasti kita bisa menyelamatkan diri. Badan kita lebih kecil, dan lebih lincah. Kita bisa masuk ke lorong yang lebih sempit. Pasti kucing itu tak bisa mengejar,” si Bagak memperjelas usulnya.
“Tapi bagaimana caranya supaya kita tahu kucing itu datang,” mancik yang lain tak sabar ingin tahu.
“Mudah saja. Kita pasang saja klinting (kalung yang berbunyi ketika begerak, biasanya digunakan pada sapi) pada kucing itu. Dengan demikian, kalau kucing datang, dari jauh kita sudah tahu. Kita cukup bersembunyi sebentar, lalu keluar lagi,” ujar si Bagak dengan bangga.
Semua peserta rapat tersenyum lega. Mereka seakan-akan telah lepas dari ancaman serangan kucing. “Hebat si Bagak. Tidak saja bisa demo, dia juga pintar,” kata peserta rapat. Semua mancik yang hadir setuju dan memuji usul si Bagak. Suasana jadi riuh. Si Bagak disalami para mancik.
Tanpa berpikir panjang, melihat suasana itu Raja mancik lalu memutuskan untuk menerima usul si Bagak, dan menutup rapat. Semua peserta rapat pulang dengan gembira. Kucing tak akan bisa lagi memangsa mereka. Sebab bergerak sedikit saja kucing akan ketahuan mancik. Kalung yang ada di lehernya akan berbunyi. Demikian yang ada di benak setiap mancik.
Menjelang tidur, Raja mancik sempat berpikir. Bagaimana mamasang kalung itu? Kantuknya tiba-tiba hilang. Dia menghubungi si Bagak. “Itu kan urusan raja. Siapa yang akan memasang terserah. Tugas saya sudah selesai, memberi usul yang brilian. Apa raja mau, rakyat raja yang pintar ini mati ketika memasang kalung itu,” kata si Bagak. Sampai pagi, Raja mancik tak bisa tidur.
***
Di kekinian kehidupan kita berbangsa, memang kadang tak jelas kepentingan siapa yang sedang diperjuangkan. Aspirasi siapa yang sedang ditindaklanjuti. Di tengah kekacauan itu, lalu muncul si Bagak- si Bagak baru. Mencari popularitas, menjadi pahlawan kesiangan, dan menangguk di air keruh.
Makanya sebagian besar rakyat menginginkan adanya kepemimpinan yang kuat (strong leadership). Mulai dari pusat sampai ke daerah. Pemimpin yang punya kemampuan memverifikasi, mana kepentingan rakyat banyak, dan mana yang hanya keinginan segelintir orang. Boleh-boleh saja semua orang menyampaikan pendapat. Sebab itu memang konsekuensi dalam berdemokrasi. Tapi ketika ada yang memaksakan kehendak, ini jelas mencederai.
Kepemimpinan yang kuat adalah kepemimpinan yang punya trik, bukan intrik. Kepemimpinan yang selalu punya cara (mengatasi masalah), bukan propaganda. Kepemimpinan yang bijaksana, bukan yang membabibuta. Ingat ancaman kucing (penjajahan secara ekonomi, budaya, bahkan kedaulautan bangsa) makin hari makin ganas. Si Bagak juga bisa muncul setiap saat. Dalam berbagai bentuk dan rupa. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar