oleh Montosori (20 Juni 2009)
Bulan lalu, beberapa kali saya harus bolak-balik dari Padang (tempat tinggal dan tempat kerja)—kampung halaman saya, Ujung Bukit Gurun Panjang, Kenagarian Kapuh, Kecamatan Koto XI Tarusan, Pesisir Selatan. Maklum, mamak kandung (kakak kandung ibu) saya meninggal dunia. Selain mamak bagi saya, dia juga ninik mamak di kaum kami, suku Tanjuang. Makanya ikut menyelenggarakan jenazahnya, hukumnya bagi saya sebagai “kamanakan” adalah “wajib”. Saya bersyukur bisa menunaikan kewajiban saya itu.
Setelah pemakaman, saya juga mengikuti ritual berdoa bersama malam hari di rumah duka, atau di kampung saya disebut “sidakah kaji” (sedekah doa). Para pemuka kaum/suku, adat, dan sebagian bapak-bapak hadir. Rumah dukan pun penuh. Pada pembuka “sidakah kaji”, para pemuka kaum/suku berpetatah-petitih lebih dulu. Isinya, mengkonfirmasi kelengkapan semua unsur kaum/suku dan adat yang datang, dan menjelaskan untuk siapa “kaji” atau doa dialamatkan.
Prosesi “sidakah kaji” untuk mamak saya ini mengusik perhatian saya. Sebab selama saya mengikuti—sejak masa SMA—“sidakah kaji”, belum pernah saya lihat para “katik” atau buya/ustad (pemandu doa), saling menghindar untuk memimpin doa bersama. Tapi malam itu, beberapa orang tua (usia mereka rata-rata di atas 70 tahun) saling menghindar duduk paling tengah—posisi untuk pemimpin doa. Karena terlihat agak “janggal” saya mencoba bertanya dengan berbisik ke seorang bapak-bapak di sebelah saya.
“Baa kok bapindah-pindah apak tu?” “Biasolah, untuk mailak (memimpin doa). Inyo litak (letih) mungkin,” jawabnya. Walaupun “basidakah kaji” malam itu tuntas dengan “sukses”, sekitar satu jam lamanya, tapi kalimat “inyo litak mungkin” tak bisa hilang di benak saya. Sebab setahu saya, bagi seseorang yang dianggap paling tahu soal agama dan adat, tak boleh mengatakan “litak”, bila sedang dibutuhkan.
Usai “basidakah kaji” saya kembali menemui bapak-bapak yang menjawab pertanyaan saya. Kali ini saya mengajukan pertanyaan,”Kenapa bisa ‘litak’”. “Tu iyo, inyo ka inyo sajo nan (memimpin) mangaji. Kalau sahari maningga tigo, mandoa salamaik ado lo, babuiah saleronya bisa mah!” Dia menjawab sekenanya, tapi bagi saya malah memunculkan banyak pertanyaan baru. Saya menutup pembicaraan, sebab saya melihat bapak yang saya ajak bicara itu sudah “litak” pula.
Keesokan harinya saya sengaja menemui ketua pengurus Mushala Jabal Nur—surau tempat saya belajar mengaji waktu kecil. Namanya Naflin, usianya sekitar 50-an tahun. Dia hebat ilmu agama, dan adat. Dia jadi ketua pengurus Mushala Jabal Nur, sebetulnya “warisan” dari orang tuanya. Dia belajar soal agama dan adat dari bapaknya. Di Ujung Bukit, dialah satu-satunya yang bisa memimpin doa, bila ada hajatan. Mulai dari doa selamat, sampai berdoa bila ada yang meninggal.
Sebelumnya memang ada yang lebih senior dari Naflin. Orang memanggilnya Pak Bila. Dia salah seorang guru mengaji saya yang sangat tegas dan keras. Tapi awal tahun lalu dia meninggal dunia. Praktis hanya Naflin satu-satunya yang bisa memimpin doa. Begitu pula kalau shalat berjamaah di mushala, dia jadi imam tetap.
Saya ceritakan apa yang saya saksikan waktu mengikuti “basidakah kaji” mamak saya kepada pengurus mushala Naflin. Soal pemimpin doa yang “litak”, karena dalam sehari beberapa kali memimpin pengajian. Naflin hanya tersenyum kecut. “Kalau untuk ‘mangaji’ (memimpin doa), mungkin hanya dua orang,” kata Naflin sembari menyebut dua nama itu. Setahu saya kedua nama itu, sekarang sudah “bau tanah” alias sangat tua.
Naflin lalu bercerita bagaimana dia berusaha mengajak beberapa anak muda untuk dilatih menghapal doa-doa, menjadi imam shalat, dan petatah-petitih adat. “Tapi ndak ado surang juo nan amuah. Antahlah, sia bisuak lai, kalau ambo lah ndak ado,” kata Naflin pasrah. Memang untuk memimpin doa, apalagi doa untuk orang meninggal dunia—di kampung saya—mungkin juga di daerah lain—tidak gampang. Selain menghapal doa yang sangat panjang dan khusus, juga harus sangat paham petatah-petitih adat. Butuh belajar khusus untuk menjadi pemimpin doa ini. Banyak yang bergelar haji di kampung saya, tapi tak mampu menjadi pemimpin doa.
Di Padang saya menceritakan ke beberapa teman, tentang langkanya pemimpin doa di kampung saya. Saya heran, kenapa teman saya tak heran. Tak ada seorang pun yang terkejut. Mereka merespons dingin. Apa sebab? Ternyata di kampung mereka, di sekitar tempat tinggal mereka, kelangkaan pemimpin doa, bukan kejadian yang langka pula. Bahkan salah seorang teman mengaku pernah disangka sebagai buya atau ustad, dan dipaksa memimpin doa dalam sebuah hajatan. “Rumah sudah penuh, tapi tak ada yang bisa memimpin doa. Buyanya telat datang. Karena saya berjenggot saya dipaksa (memimpin doa),” teman saya menceritakan pengalamannya.
Saya lalu berpikir dan ketakutan sendiri. Jangan-jangan ketika saya yang meninggal dunia nanti, tak ada yang mendoakan, karena tak ada yang bisa memimpin doa. Tak ada “sidakah kaji” (ritual adat dan agama), hajatan-hajatan tak lagi dimulai atau ditutup dengan berdoa.
Makanya kini, saya rasa, tak ada waktu berdebat lagi soal “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, babaliak ka nagari, babaliak ka surau.”. Hari sudah tinggi, jangan hanya berdiam diri!(***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar