Senang ke Luar Jalur, dan Selalu Bersyukur
Di tangan Hasnul Suhaimi, XL menyodok menjadi operator komunikasi terbesar kedua di Indonesia. Ia juga telah berhasil membuat transformasi di PT XL Axiata. Apa rahasia sukses putra pasangan guru, Suhaimi dan Zakenar ini?
Sebelum menyampaikan kuliah umum kewirausahaan di Kampus Univesitas Andalas, Padang, Jumat (1/4/2001) siang, Hasnul ”membocorkan” beberapa rahasia itu. ”Saya senang ke luar dari jalur (normal). Bila orang mengatakan mahal baru untung, saya mengatakan murah harus untung,” kata alumni Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung ini, ketika berbincang dengan wartawan dan sejumlah pimpinan media.
Tahun 2006, ketika operator komunikasi masih menikmati keuntungan dengan tarif yang tinggi, Hasnul justru meminta supaya XL menurunkan tarif.
Di awal menjabat pimpinan XL, ia langsung mengajak sejumlah stafnya memikirkan bagaiman tarif bisa murah. Waktu itu tarif komunikasi seluler masih Rp 1.000 per menit.
”Saya minta mereka (staf XL) menurunkan menjadi Rp200 per menit. Semuanya sibuk menghitung. Lalu mereka menyatakan bahwa tak mungkin turun harga serendah itu. Mereka bilang hanya bisa Rp 610 per menit, sesuai dengan modal atau HPP (harga pokok penjualan). Saya katakan lagi, cari bagaimana caranya HPP itu Rp 100 per menit. Ternyata bisa,” ungkap alumni SMA 1 Bukittinggi itu, tersenyum.
Dan, jadilah XL pada Juli 2007 resmi meluncurkan tarif sangat murah tersebut. Ia memulai di Sumatera, lalu Kalimantan, Sulawesi, dan terakhir di Jawa. ”Ini strategi. Ada seorang ibu di Kalimantan yang menelepon anaknya kuliah di Jakarta. Ia terkejut ketika memakai XL. Pulsanya hanya habis Rp 1.800. Lalu ia minta anaknya mengganti nomor dengan XL. Banyak yang seperti itu,” tutur Hasnul tertawa.
Sejak itu, pelanggan XL meningkat berlipat-lipat. Setiap hari rata-rata pelanggan XL bertambah 50 ribu. Dan, pada akhirnya semua operator pun ramai-ramai banting harga. ”Jangan berpikir keuntungan perusahaan dan kita saja. Berbisnis itu juga harus menguntungkan masyarakat,” jelas peraih penghargaan The Best CEO 2010 dari Majalah SWA dan CEO Idaman 2009 dari Majalah Warta Ekonomi, itu.
Dari mana munculnya harga Rp 200 per menit itu? Menurut Hasnul, angka itu berasal dari pengalamannya membantu bisnis penerbitan buku bapaknya, Suhaimi. ”Rata-rata HPP barang itu seperlima atau 20 persen. Makanya, dengan strategi, dan efisiensi, dari harga seperlima itu, kita masih bisa dapat untung. Masyarakat kan pasti untung,” kenang Hasnul.
Kuliah Umum
Tapi sebetulnya, kesuksesan Hasnul bukan hanya dari bakat semata. Ia juga mengoptimalkan pengalamannya, selama malang-melintang di sejumlah operator telekomunikasi, seperti di Telkomsel dan Indosat. Dengan pengalaman plus bakat, dan ilmu yang ia kuasai, penyandang MBA dari Universitas Hawaii, Manoa, Amerika Serikat, ini tahu betul siapa musuh, dan kemampuannya.
”Kenali musuhmu, kenali dirimu. Itu teori paling sederhana untuk memenangi persaingan. Tapi dalam memimpin XL Saya menambah satu lagi, yakni kenali costumer,” ujar Hasnul ketika memberikan kuliah umum di Kampus Unand.
Menurut Hasnul, bila memang memiliki kekuatan besar, silakan menyerang habis-habisan. Tapi kalau tidak, harus dicari jalan lain yang tidak dilalui para pesaing. ”Di sanalah gunanya untuk mengenali tiga hal tersebut, dan mengambil langkah-langkah perubahan,” papar putra Bukittinggi, 53 tahun, ingin berkecimpungan di dunia pendidikan setelah pensiun di bisnis ini.
Terlepas dari itu, sebetulnya modal utama Hasnul adalah keberanian mengambil risiko. Sebetulnya, waktu 2006 itu masih di posisi nyaman. Ia menjabat sebagai Direktur Utama PT Indosat, yang ketika itu menguasai 22 persen pasar telekomunikasi, satu trip di bawah Telkomsel. Namun, ia ingin tantangan lebih besar, dan bergerak lebih cepat. Ia memutuskan pindah ke XL.
Benar saja, pemegang saham XL langsung mematok target pada Hasnul, yakni membawa XL sebagai operator nomor dua terbesar di Indonesia. ”Waktu itu, XL berada pada posisi ketiga dengan menguasai pasar Indonesia sebesar 10,5 persen. Indosat berada dua kali lipat di atas XL, dan Telkomsel mengauasai sekitar 63 persen,” imbuhnya. Ketika ditanya pemegang saham, apakah akan mampu, Hasnul hanya menyatakan,” Tak ada salahnya mencoba terlebih dahulu.”
Meski sudah berpengalaman, dalam rentang waktu enam bulan pertama di XL tidaklah mudah bagi Hasnul. Pendapatan XL turun naik pada angka Rp13 miliar dan Rp14 miliar setiap bulannya. Padahal berbagai strategi bisnis modern telah diterapkannya.
Belajar dari kegagalan, dengan berani, bapak dua anak ini mengambil teori usang dalam dunia bisnis. Yang pada dasarnya, teori itu adalah teori dalam perang yang diciptakan Michael Parker, kenali lawanmu, kenali dirimu. ”Back to Basic, kembali ke dasar,” katanya.
Manjur, XL sebagai perusahaan operator seluler memiliki data yang lengkap tentang perusahaannya. Tidak hanya itu, ia pun mencari tahu tentang kondisi pesaingnya, dan costumer sedetail mungkin. Semuanya dianalisis seketat dan setepat mungkin. Setelah merasa yakin dengan hasil analisisnya, Hasnul pun melakukan perubahan strategi. Jadilah tarif murah yang revolusioner diluncurkan.
”Namun, tak mudah juga meyakinkan pemegang saham. Jaminannya kontrak saya. Kalau gagal saya dipecat. Lalu pemilik saham mengatakan kepada saya, kalau kamu hanya kehilangan pekerjaan jika gagal, tapi kami kehilangan banyak uang,” kenang Hasnul.
Untuk memuluskan program tersebut, Hasnul menerapkan strategi low coast, di antaranya tidak menambah karyawan, namun integritasnya ditingkatkan, team work diperkuat, dan pelayanan mesti service excellence. Inilah yang dikenal di XL sebagai ITS.
Di akhir kuliah umum, pria dua anak ini mengingatkan agar dalam berbisnis selalulah bersyukur. Jangan berlebihan mencari keuntungan. ”Saat sudah banyak mendapat pelanggan, saya coba untuk naikkan harga. Eh, ternyata pelanggan malah lari,” kata Hasnul. Kini XL memiliki 40,4 juta pelanggan, dan menjadi yang terbesar kedua di Indonesia. Pada 2010 XL tumbuh 27,7 persen dibanding 2009.
Untuk menggambarkan rasa syukur dan kepuasan mencapai target, ia mengisahkan lagi cerita ibundanya. Seorang biksu ditugasi gurunya membangun rumah bagus dengan 2.000 bata. Biksu berhasil. Tapi ada dua sisa bata yang tidak bisa ia pergunakan, karena jika dipergunakan akan membuat bentuk rumah jadi buruk. Biksu tidak puas.
Sang guru lalu berujar, ”Jangan risaukan dua bata tersebut, jika kamu berhasil membangun rumah yang bagus dengan 1998 bata, dua bata tak berarti apa-apa, jika kamu memiliki 1.998 bata yang tersusun indah ini.” (montosori & ganda cipta)
Padang Ekspres • Sabtu, 02/04/2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar