Jumat, 11 Maret 2011

Coki

oleh Montosori (19 Mei 2009)

Di Sumbar ada istilah “coki duo nokang”, dan “tabukak coki”. Istilah itu diambil dari bahasa yang biasa digunakan dalam permainan kartu “ceki”, atau lebih dikenal di Sumbar dengan “koa”. “Coki duo nokang” artinya seorang pemain yang tinggal selangkah lagi (coki) untuk menang, punya dua kesempatan. Dia tak melulu menunggu satu jenis kartu. Dengan kartu jenis lain pun dia bisa menutup permainan dengan kemenangan.

Sementara itu “tabukak coki” artinya kartu (kesempatan) yang ditunggu-tunggu untuk menang diketahui oleh lawan. Sehingga lawan akan berusaha bagaimana kartu yang ditunggu itu tidak muncul. Atau dengan kata lain, lawan akan berusaha agar yang “coki” tidak menang. Sebab, itu berarti kerugian bagi si lawan. Semua pemain pasti ingin jadi pemenang. Kalau yang “coki” hanya satu orang, pemain yang lain akan “mengeroyok” agar—minimal—menunda kemenangan yang sedang “coki” tersebut.


Dalam kehidupan masyarakat di Sumbar, “coki duo nokang” dipahami sebagai tindakan menciptakan lebih dari satu peluang. Artinya tidak terbatas hanya “duo” (dua). Misalnya mengirimkan lamaran pekerjaan ke sejumlah perusahaan. Tujuannya tentu, kalau yang satu tak merespons, mungkin perusahaan lainnya akan membutuhkan. Semakin banyak lamaran pekerjaan dikirimkan, jelas semakin banyak pula peluangnya dapat pekerjaan.

Contoh lain, seperti sering kita lihat dalam dunia usaha. Bagi yang punya modal besar, biasanya berinvestasi pada banyak jenis usaha. Bila usaha yang satu merugi, mungkin pada usaha lain bisa menangguk untung. Begitu pula yang punya pekerjaan tetap, seperti pegawai dan karyawan. Tak sedikit di antara mereka yang punya pekerjaan sampingan. Menciptakan peluang untuk menambah pendapatan.

Bagaimana pula contoh “tabukak coki” dalam kehidupan sehari-hari? Persis seperti dalam permainan kartu. “Coki” dalam kehidupan sehari-hari diartikan sebagai sesuatu yang wajib dirahasiakan. Nah, kalau ketahuan kemenangan akan sulit didapatkan. Bahkan, di dalam kehidupan bila “tabukak coki”, berarti dalam masalah. Contohnya yang paling gress adalah kasus yang menyeret Antasari Azhar, Ketua KPK (nonaktif). “Coki”-nya (rahasia/dugaan perselingkuhan dengan caddy golf) diketahui oleh Nasrudin Zulkarnaen, Direktur PT Putra Rajawali Banjaran. Karena tak mau “tabukak coki” lebih jauh, Nasrudin dilenyapkan. Sekarang Antasari dalam masalah.

Contoh “tabukak coki” lainnya seperti yang dialami teman saya. Ketika dia mencari jodoh dia mencoba untuk “coki duo nokang.” Tak tanggung-tanggung, dia menggandeng empat cewek sekaligus. Tentu saja dia merahasiakan hubungannya, antara satu dengan yang lainnya. Dia punya empat “coki”. Tapi apa lacur, niatnya untuk mendapatkan jodoh harus tertunda. Sebab “coki”-nya ketahuan oleh keempat cewek itu. Berharap jodoh yang tepat, sebaliknya dia terbelit masalah. Dia dianggap sebagai “play boy”, “buaya darat”, “kucing garong”, dan “kucing air”. “Sikua capang, sikua capeh”, “sikua tabang sikua lapeh”. Dia harus “malapeh hao”...

***

Di perpolitikan Indonesia sekarang, masyarakat Sumbar sedang punya “coki duo nokang”. Pada semua tim pasangan capres/cawapres yang telah mendeklarasikan diri (Jusuf Kalla-Wiranto atau JK-Win, Megawati-Prabowo atau Mega-Pro, Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono atau SBY Ber-Boedi), ada orang Minang. Di tim JK-Win ada Syahrul Ujud, Fahmi Idris, dan sejumlah tokoh Sumbar lainnya. Istri JK sendiri adalah orang Minang. Tentu warna Minang pada pasangan ini kental sekali. Di tim Mega-Pro ada Fadli Zon, tokoh muda Minang yang baru saja mendapat gelar kehormatan dari Pagaruyung. Lalu di tim SBY Ber-Boedi—tak tanggung-tanggung—ada Gamawan Fauzi (Gubernur Sumbar), Patrialis Akbar, dan Irwan Prayitno.

Dengan demikian, pasangan manapun yang akan terpilih pada pilpres nanti, orang (wakil) Minang tetap ikut menang. Lebih tegasnya pada pemerintahan lima tahun mendatang, dipastikan ada orang Minang di “ring satu”. Minang akan mewarnai.

Bila masyarakat Sumbar sedang “coki duo nokang”, sebaliknya masing-masing tokoh yang masuk tim capres/cawapres sudah “tabukak coki”. Mereka dalam masalah? Syahrul Ujud, Fahmi Idris, Fadli Zon, Patrialis Akbar, dan Irwan Prayitno sudah sejak lama “tabukak coki”. Mereka memang “pemain” (baca: orang politik). Kalah menang sejak awal sudah dihadang. Itu dunia mereka. Warna mereka sudah jelas.

Bagaimana dengan Gamawan Fauzi? Walau sejak lama “coki” Gamawan telah terendus, tapi ketika membacakan nota deklarasi SBY Ber-Boedi, kontroversi pun menyeruak di Sumbar. Sebagian kalangan menilai, langkah Gamawan keliru. Sebab, dia adalah Gubernur sekaligus tokoh Sumbar. Dia mestinya bisa “coki duo nokang”. Tapi dia malah memutuskan untuk membuka “coki” satu-satunya.

Sebagian kalangan lagi menilai langkah Gamawan tepat. Sebab sejauh ini tak ada nama orang Sumbar di “ring satu” SBY Ber-Boedi. Artinya, bila SBY Ber-Boedi terpilih, dikhawatirkan pemerintahannya tak punya warna Minang. Karena Gamawan lah masyarakat Sumbar punya “coki duo nokang”.
Lagi pula menurut kalangan ini, “coki” Gamawan adalah “coki salakak” (dalam istilah permainan koa peluang menangnya sangat besar). Siapa yang dalam masalah, dan siapa yang ikut menang? Kita tunggu saja hasil akhir permainan (pilpres). Anda sedang “coki”?(***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar