Jumat, 11 Maret 2011

Gedung yang Mana?

oleh Montosori (25 November 2010)

Begitu mungkin pertanyaan yang masih bertengger di benak warga yang tinggal atau sering beraktivitas di pinggir pantai: di Padang, Pesisir Selatan, Pariaman, Padangpariaman, Agam, dan Pasaman Barat. Betapa tidak, sewaktu-waktu, tanpa diduga gempa bisa mengguncang, dan tsunami langsung menerjang. Pertanyaan di atas, jelas bukan bentuk kecemasan, apalagi kepanikan. Pertanyaan itu lebih pada dorongan untuk bersikap lebih siap dan siaga, jika bencana gempa dan tsunami terjadi.

Sejak gempa 7,2 skala Richter disusul tsunami melanda Kepulauan Mentawai akhir pekan lalu, analisa, pendapat, dan prediksi pakar, telah menghiasi media massa. Silang pendapat sempat terjadi. Ada yang menuding Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) terlalu cepat mencabut peringatan dini tsunami, sehingga banyak korban berjatuhan. Ada pula yang membela, bahwa langkah BMKG telah tepat, karena mencabut peringatan dini tsunami sejam setelah gempa. Terakhir malah terungkap, bahwa alat peringatan dini tsunami tak berfungsi baik, banyak bagian sistem yang rusak. Khususnya alat sensor berupa buoy yang ditempatkan di sejumlah perairan Indonesia. Sirene peringatan dini tsunami juga tak ada di Mentawai. Artinya peringatan dini tsunami, saat bencana itu terjadi tak ada pengaruhnya pada jatuhnya korban jiwa, karena memang belum bisa diandalkan.
Dari tulisan, pendapat, dan analisa yang saya ikuti, para pakar sepakat untuk beberapa hal. Salah satunya, bahwa sistem peringatan dini tak menjamin jumlah korban jiwa bisa seminimal mungkin. Dengan kata lain, yang paling menentukan keselamatan warga di pinggir pantai adalah warga itu sendiri. Makanya, kearifan lokal, kearifan cara hidup, dan kearifan dalam beraktivitas sehari-hari sangat dibutuhkan.

Persoalannya sekarang, kearifan seperti apa persisnya yang bisa menyelamatkan warga pinggir pantai jika gempa dan sunami terjadi? Para pakar dan pengamat kebencanaan, dengan kalimat sederhana mengatakan, “Jika terjadi gempa besar di atas 7 skala Richter, berpusat di laut dangkal, kedalamannya kurang dari 70 kilometer, jangan pikir panjang lagi. Langsung lari ke tempat ketinggian!” Nah, kini pertanyaan besarnya, tempat ketinggian yang mana?

Bagi yang berada di zona kuning (setelah zona merah/berbahaya), bisa jadi punya waktu relatif cukup untuk berlari menjauh. Inipun kalau jalan membentang dengan lapang. Bagi yang berada dekat perbukitan, bisa jadi naik ke bukit. Namun, ini pun pernuh risiko, karena pada gempa 30 September 2009 silam, daerah perbukitan ternyata banyak yang longsor.

Sekarang bagi yang sedang berada di zona merah/berbahaya, ke mana mereka akan lari? Perbukitan jauh, ditambah jalan sebagai jalur evakuasi yang langsung lumpuh bila gempa terjadi—di Padang ini sudah menjadi pengalaman saat sejumlah gempa terjadi. Memaksakan lari melalui jalur yang ada, sama saja dengan menunggu maut menjelang tsunami mencabut nyawa.

Walau sejumlah peta evakuasi, soal jalur-jalur evakuasi telah disebar, namun fakta di lapangan, jalur itu tak banyak membantu—bila tak boleh disebut tak berfungsi, ketika gempa terjadi. Jumlah warga yang lari menggunakan jalan itu sangat tak seimbang dengan daya tampung jalan tersebut. Apalagi, ini diperparah dengan banyaknya warga yang lari menyelamatkan diri menggunakan kendaraan. Jalur-jalur evakuasi itu, benar-benar tak akan efektif.

Apa jalan lain? Yang jelas, jawabnya: harus ada! Wajib!  Para pakar dan pengamat telah memprediksi bahwa kecepatan tsunami bisa mencapai 20-40 kilometer per jam. Artinya, jarak lima kilometer dari bibir pantai bisa dicapai oleh tsunami hanya dengan waktu sekitar 7,5 menit. Bila dijumlahkan, sejak gempa berakhirair laut surut-tsunami, paling lama hanya 20-30 menit waktu tersedia untuk lari sejauh-jauhnya dari pinggir pantai. Oleh karena itu, bagi yang berada di zona merah, waktu sebanyak itu jelas sangat sulit menghindar dari tsunami.

Pengalaman//

Dari bencana tsunami di Aceh, 2004, dan tsunami Mentawai awal pekan lalu, dapat diambil satu pelajaran. Kalau berada di zona merah, atau sangat dekat dengan pinggir pantai, cara yang paling efektif menyelamatkan diri adalah naik ke tempat, atau gedung yang lebih tinggi dari tsunami tersebut. Para pakar juga sepaham, bahwa evakuasi vertikal (ke atas) lebih efektif dari evakuasi secara horizontal (mendatar).

Beberapa hari setelah tsunami dahsyat menyapu Aceh, sejumlah rekaman video amatir warga yang selamat sempat berulang kali ditayangkan di televisi. Tayangan itu menunjukkan, warga tersebut berkumpul di ruang lantai dua/tiga kediaman Wakapolda Aceh. Saat tsunami menyapu pesisir pantai Mentawai, 20 turis asing juga selamat. Padahal mereka berada persis di pinggir pantai. Caranya, mereka lari menyelamatkan diri ke lantai tiga Resort Macaroni, tempat mereka menginap.

Di Padang, ada sekitar 250 ribu warga yang berada di zona merah ini. Mulai dari perbatasan Padang-Padangpariaman, Lubukbuaya, hingga ke Bungus Telukkabung, memang ada sejumlah bangunan yang berlantai tiga atau lebih tinggi di sekitar pantai. Ada sejumlah kampus besar (Universitas Negeri Padang dan Universitas Bung Hatta), hotel berbintang lima dan empat (Best Western Premiere Basko Hotel, dan Hotel Pangeran Beach), serta hotel-hotel kecil lainnya. Selain itu juga ada sejumlah perkantoran, dan ruko.
Namun, sejauh ini belum ada penunjukan “resmi”, apakah gedung-gedung itu

bisa menjadi tempat evakuasi warga sekitar. Artinya, kapan pun terjadi gempa dan tsunami, warga sekitar bisa langsung naik ke gedung-gedung itu. Inilah persoalan berikutnya. Gedung-gedung itu bukan milik pemerintah. Kalau bencana itu datang malam hari, misalnya, apakah satpam atau security penjaga gedung dengan sukarela—mestinya wajib—membuka gedung itu untuk warga.

Bila dihitung kasar saja, diumpamakan satu gedung bisa menampung 1.000 warga, berarti di sekitar zona merah di Kota Padang, perlu 250 gedung yang ditetapkan sebagai tempat evakuasi. Gedung ini tentu mesti punya konstruksi yang benar-benar diyakini tahan terhadap goncangan gempa berkekuatan di atas 7 skala Richter. Oleh karena itu, jangan hanya peta jalur evakuasi yang dibagikan, tapi juga peta gedung yang jadi shelter yang sudah ditetapkan ini.

Sementara itu di Pesisir Selatan, gedung berlantai tiga hanya ada di Kota Painan. Di sebagian pesisir pantai, memang ada sejumlah tempat ketinggian, semacam perbukitan. Namun, di beberapa kawasan seperti di Kambang, Surantih, dan di Air Haji, daerah ketinggian sangat jauh. Begitu juga di Pariaman,

Padangpariaman, Agam, dan Pasaman Barat. Kondisinya nyaris sama, gedung agak tinggi hanya ada di ibukota. Masih banyak warga yang tinggal di pinggir pantai, dengan tempat evakuasi yang sulit dijangkau dalam waktu singkat.

Walau penduduk yang tinggal di pinggir pantai di lima daerah tersebut lebih sedikit dari Kota Padang, bukan berarti mereka tidak prioritas. Pemerintah daerah bersama masyarakat, secepat mungkin perlu memikirkan tempat evakuasi ini. Ada usul, untuk daerah yang tidak memiliki gedung tinggi, bisa diakali dengan pembangunan shelter berupa lapangan yang ditinggikan. Semisal, lapangan sepak bola yang dibuat setinggi lima meter atau lebih tinggi. Kalau memang ini dibutuhkan, kenapa tidak? Para pengambil kebijakan, tak perlu mencari alasan untuk tak menganggarkan dana, dan segera membangun. Sebab, nyawa tak bisa dihargai dengan apapun! Penyelamatan manusia, berapa pun jumlahnya adalah paling utama! Ingat, dalam bencana keselamatan warga sangat ditentukan oleh kesiapsiagaan pemerintah lokal, dan masyarakatnya. Jadi jangan melulu beralasan, daerah tak punya uang.

Kini saatnya, bagi kita semua yang tinggal di pinggir pantai menghimpun tenaga, dan daya upaya untuk bersiap siaga. Kita tak punya waktu banyak. Bencana bisa datang kapan saja, dan tak pernah lelah mengintai kita. Bencana datang tak akan menunggu kita bersiap dulu. Kita orang pantai. Tidak mungkin menjadi Ketua DPR dulu untuk selamat dari gempa dan tsunami. (***)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar