Jumat, 11 Maret 2011

GAWAT

oleh Montosori (16 Juli 2010)

Ratusan anak menderita gizi buruk. Hampir tiap bulan, ada saja bayi yang dibuang, ditelantarkan, bahkan dibunuh sebelum lahir (aborsi). Lalu menyeruak lagi informasi menghebohkan, sebanyak 162 orang terindikasi tertular HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome), penyakit yang sangat mematikan. Semua ini sedang terjadi di Sumatera Barat, Ranah Minang.

Mengapa hal-hal gawat, dan memalukan di atas bisa terjadi? Jawabannya bisa melebar ke sana ke mari. Semua bisa dipersalahkan, tergantung kita mau menyalahkan siapa.

Pemerintah, jelas sangat layak dianggap paling bertanggung jawab. Sebab, kendali negeri ini ada pada pemerintah. Bisa saja, kita menganggap hal-hal buruk itu terjadi, karena pemerintah tak bekerja dengan baik. Pemerintah tak becus, hanya memikirkan kekuasaan belaka.
Tokoh masyarakat, dan tokoh agama, juga tentu bisa kita anggap pula ikut berdosa. Mereka punya tanggung jawab membawa masyarakat ke yang baik, bukan membiarkan masyarakat terpuruk dalam kubangan kehinaan. Ke mana para tokoh ini, saat semua persoalan ini menusuk rasa kemanusiaan kita. Saat masyarakat butuh bimbingan. Saat masyarakat butuh tauladan. Apa mereka ikut pula berpolitik? Mencari kekuasaan, dan kekayaan untuk kepentingan pribadi dan kelompok?

Lalu, kita semua (masyarakat), tentu tak bisa pula berlepas tangan. Mereka yang gizi buruk itu adalah anak-anak kita. Mereka yang membuang, dan membunuh bayi itu juga dunsanak kita. Dan, mereka yang bermaksiat, dan melakukan tindakan menyimpang itu juga adalah anak kemenakan kita. Semua mereka ada di sekitar kita. Kita tak bisa lari, apalagi menghindar merasa bersih dan ikut pula menyalahkan.

Pada akhirnya yang harus dipersalahkan adalah kita semua. Mulai dari yang katanya pemimpin, sampai pada kita rakyat biasa. Cuma, yang harus diingat, sekarang bukan dulu lagi. Mencubit anak sendiri saja bisa masuk penjara. Apalagi memukul anak orang. Walaupun anak itu cindapia urang perangainya. Menempeleng kemenakan sendiri, bisa berurusan dengan polisi. Apalagi menggampar anak tetangga. Walaupun kemenakan itu mancirik tingkahlakunya. Memarahi istri saja, bisa dianggap melanggar HAM (Hak Asasi Manusia), apalagi membentak istri tetangga. Walaupun mungkin ia berbuat tak senonoh.

Di zaman yang canggih, modern yang serba mudah, dan gampang ini, kadang kita justru merasa makin sulit dan risih. Di era demokrasi, reformasi yang sangat bebas ini, kita justru merasa dipenjara. Tak bisa melakukan apa-apa!

Pertanyaan besarnya, di museum mana disimpan “Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Syarak mangato, adat mamakai?” Atau, “Kaluak paku, kacang balimbiang, tampuruang lenggang-lenggangkan. Baok lalu ka saruaso. Tanam siriah jo ureknyo. Anak dipangku, kamanakan dibimbiang, urang kampuang dipantenggangkan, ingek nagari jan binaso. Jago sarato jo adatnyo?” (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar