Jumat, 11 Maret 2011

Bersatu Lawan Korupsi

oleh Montosori (Maret 2011)

Untuk memberantas korupsi, masih diperlukan upaya lebih keras lagi.
Tidak saja dalam hal penegakan hukum, tapi juga pada upaya preventif, berupa pendidikan tentang pemberantasan dan gawatnya korupsi itu sendiri. Sebab, mengandalkan upaya penindakan saja, niscaya tak akan pernah berhasil mengikis habis korupsi di bumi Indonesia, bila tidak didukung kesadaran untuk tidak berperilaku korupsi oleh semua lapisan masyarakat. Terutama, aparatur pemerintah.

Penindakan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan, sedikit banyaknya memang telah memberikan efek takut pada para pejabat untuk melakukan korupsi. Namun, itu bukan berarti tak ada lagi pejabat yang berniat untuk korupsi, atau kini mungkin sedang melakukan korupsi. Sebab, semakin gencar tindakan pemberantasan korupsi, si koruptor pun akan berusaha keras menemukan cara yang lebih canggih untuk korupsi.
Namun sebetulnya yang lebih gawat adalah pemberantasan korupsi menimbulkan dampak lain: aparatur pemerintah jadi paranoid terhadap pemberantasan korupsi, termasuk aparat penegak hukum. Sehingga banyak aparatur pemerintah menjadikan upaya pemberantasan korupsi dan penegak hukum sebagai musuh. Dalam pandangan kelompok aparatur seperti ini, penegak hukum sedapat mungkin harus dijauhi. Oleh karena itu semua akses yang mungkin bisa dijadikan sebagai jalan menelisik perilaku koruptif harus ditutup.

Padahal semestinya aparatur pemerintah, siapapun dia wajib mendukung upaya pemeberantasan korupsi, dan membuka akses sebesar-besarnya, agar korupsi bisa dicegah sejak awal. Aparatur pemerintah pun, harus "bersahabat" dengan aparat penegak hukum. Bersahabat di sini artinya tentu, bukan berkonspirasi untuk melakukan atau mengamankan tindakan korupsi. Tapi untuk mencegah perilaku yang mengarah ke tindakan korupsi, dan menindak siapa saja yang korupsi.

Pada Workshop Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH), Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Sumbar, Maulana Ginting mengatakan, bahwa pemerintah daerah, dalam hal ini tentu pejabat dan aparatnya, banyak yang enggan memberikan data atau soft copy Peraturan Daerah (Perda) ke BPK (Padang Ekspres, Selasa 28/2). Padahal sudah jamak diketahui sejak otonomi bergulir banyak terbit Perda yang isinya mengatur tentang perizinan, dan retribusi. Di antara Perda itu, tak sedikit pula yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya.

Dengan demikian, tentu BPK punya kewenangan untuk mencari tahu sejauh mana perda itu telah dijalankan sesuai dengan isi perda, dan apakah Perda itu memang sejalan dengan peraturan di atasnya. Bila Perda mengatur perizinan dan retribusi, yang salah satu sasarannya memungut uang rakyat, BPK tentu berhak memeriksanya.

Dalam hal ini, jelas bukan berarti otomatis semua yang ditelisik atau diperiksa oleh BPK ada penyimpangan atau tindakan korupsi. Sebaliknya, tindakan BPK diutamakan bagaimana semua bentuk pengelolaan keuangan negara, dan daerah sesuai dengan standar keuangan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Tegasnya, tindakan BPK adalah untuk mencegah agar korupsi tidak terjadi!

"Ketakutan" aparatur pemerintah membuka akses kepada BPK ini jelas dapat mengganggu atau menghambat upaya pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, kekeliruan ini perlu diperbaiki. Caranya, tentu bukan dengan serta merta menuduh aparatur pemerintah telah berusaha untuk korupsi. Namun sedapat mungkin dengan memberi pemahaman, dan pendidikan secara berkelanjutan. Yang tujuan akhirnya, semua aparatur pemerintah bukan saja membuka akses sebesar-besarnya agar korupsi dapat dicegah, namun yang lebih penting aparatur pemerintah paham lalu dengan sadar untuk tak pernah korupsi.

Bukankah yang kita harapkan semua kita bersatu melawan korupsi, selanjutnya bersama-sama sadar untuk tidak korupsi? Makanya, upaya keras menindak pelaku korupsi, sedapat mungkin paralel dengan upaya pencegahan agar tak ada yang korupsi lagi. Dengan demikian, barulah mungkin kita bisa berharap korupsi benar-benar mengirap dari bumi nusantara ini. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar