Oleh: Montosori
Cerita ketakutan, dan kepanikan tentang bom seperti tak sudah-sudah. Setelah bom buku, bom di masjid Mapolresta Cirebon, lalu bom di gereja, Serpong, Jakarta. Sebelumnya, bom Bali I dan II, beberapa kali bom di Jakarta, dan serangkaian teror bom lainnya di seantero Nusantara ini, telah memakan banyak korban jiwa. Besok, dan besok-besoknya, entah di mana lagi. Bisa jadi di dekat kita, dekat orang tua kita, atau dekat anak-anak kita. Duh...Sungguh amat menakutkan.
Yang agak “melegakan”, sejauh ini polisi telah menangkap 20 pelaku teror bom tersebut. Ini yang terkait dengan teror bom buku, dan bom di gereja, Serpong. Polisi juga terus memburu siapa saja di belakang Muhammad Syarif, bomber bunuh diri di Masjid Al Dzikra, Mapolresta Cirebon.
Dalam banyak diskusi tentang teror bom sebelumnya, disebut-sebut bahwa mereka yang masuk dalam jaringan teroris ini adalah orang yang miskin, dan berpendidikan rendah. Ini tentu merujuk pada diri M Syarif. Namun hipotesa ini langsung patah. Sebab, dari 20 pelaku bom yang ditangkap polisi, sebagiannya adalah lulusan S1 atau sarjana. Mereka juga bukan dari keluarga miskin.
Soal M Syarif, polisi menyebut masih terkait dengan jaringan lama, yakni teroris yang berafiliasi dengan kelompok yang disebut banyak pihak sebagai Islam fundamentalis. Sementara itu, jaringan teror bom buku dan bom di gereja, masih kabur. Kata polisi, mereka jaringan baru yang ingin menyampaikan pesan propaganda. Pesan propaganda apa? Tak jelas pula.
Berbagai analisa soal teror bom ini meramaikan media massa, khususnya televisi. Ada yang menilai, teror bom terus terjadi karena pemerintah tidak tegas. Tidak serius, karena tak menyediakan dana serta perangkat mencukupi membasmi teroris. Pemerintah sejauh ini hanya mengandalkan dana “belas kasihan” dari Amerika dan Australia. Seakan-akan untuk melindungi, dan membuat rasa aman bagi rakyat, bukan masalah penting. Aturan pun dinilai sangat longgar.
Ada pula yang menilai bahwa teror bom terus muncul, ikut dipicu oleh ceramah-ceramah pemuka agama yang selalu menebar permusuhan, bukan kesejukan. Oleh karena itu organisasi mainstream besar, terutama Muhammadiyah dan NU, diharapkan maksimal mengambil peran memberdayakan para penceramah agama.
Yang lain menyebut, bahwa teror bom akan sulit dihentikan, bila pemerintah tak bekerja dengan baik. Pejabatnya masih korup, dan memakan jatah rakyat. Walau ekonomi terus tumbuh, tapi tak sedikit rakyat yang masih hidup di kubangan kemiskinan. Rakyat diabaikan, dan bahkan terzalimi. Oleh karena itu, kalau berharap tak ada bom lagi, keadilan dalam aspek apapun harus ditegakkan.
***
Hampir bersamaan dengan penangkapan pelaku teror bom, muncul lagi peristiwa yang tak kalah mengejutkan. Sejumlah mahasiswa telah direkrut menjadi anggota NII (Negara Islam Indonesia). Beberapa perekrut mahasiswa ini sudah ada yang ditangkap. Kita yang awam bisa menilai, bahwa pihak yang berada di belakang rekrutmen ini tentu bertujuan mendirikan negara Islam. Memberontak. Lalu kalau tak tercapai, memunculkan teroris baru. Pembunuh berdarah dingin. Gawat!
Tak berselang lama, ada pula mahasiswa yang diculik, dan ditengarai menjadi korban pencucian otak. Konon mereka akan dijadikan sebagai teroris, bomber bunuh diri, dan untuk aksi-aksi maut lainnya. Hingga hari ini tak jelas benar, apa sebetulnya perkara ini.
Dalam diskusi ringan dengan beberapa teman, ada yang nyelutuk bahwa ia curiga semua ini adalah rekayasa. Semua kawan yang ikut diskusi terkejut, dan serentak bertanya. Rekayasa siapa? Ia menjawab sambil berbisik. “Off the record,” katanya meniru gaya pejabat ketika dikonfirmasi apakah ia korupsi atau tidak. Sepintas bisa jadi kawan ini bercanda. Mungkin otaknya terlalu sakit, setelah dipaksa berpikir kenapa orang mau mengorbankan nyawanya, untuk membunuh orang lain. Sudahlah bunuh diri dosa besar, tambah lagi dosa besar lainnya membunuh orang lain.
“Sudah jelas masuk neraka!” tegas kawan ini mantap.
Bukankah semua orang ingin menjadi orang baik. Orang yang berguna bagi dirinya, dan orang lain. Bukankah semua orang ingin hidup aman, dan nyaman. Bukankah semua orang ingin dihormati, karena itu ia juga menghormati orang lain. Bukankah semua orang tak ingin “diperkosa”, karena itu ia tak mau menzalimi. Bukankah perbedaan itu indah. Begitu, kawan ini berargumen.
“Yang melakukan bom bunuh diri itu tidak orang. Dia robot. Jasadnya memang orang, tapi otak dan jiwanya dikuasai yang memegang remote,” kata kawan yang lain. “Nah, itu yang merekayasa!” kata kawan yang sulit mempercayai ada orang mau jadi bomber itu. Bukankah semua bisa direkayasa di negara ini? “Itu, Munir pembunuhnya siapa? Yang mengkriminalisasi Bibit-Chandra (pimpinan KPK) sebenarnya siapa? Terus yang membunuh Nasrudin Zulkarnaen siapa? Kok Antasari yang dipenjara?” Kawan ini ngelantur. Hmmmm, jangan-jangan tidak... (*)
Padang Ekspres, Minggu, 24 April 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar