Oleh : Montosori
Nama itu spontan muncul begitu saja ketika kami, panitia resepsi peringatan 12 tahun Padang Ekspres mau merampungkan format acara, awal Maret lalu. “Buya Syafii,” kata Yusrizal KW, Redaktur Pelaksana Padang Ekspres. “Yup, sosok itu klop dengan tema HUT kita: ‘Memajukan Sumbar, Memajukan Indonesia’,” Saya, Ketua Panitia langsung menyatakan setuju. Yang lain pun Ok. Maka, jadilah Buya Syafii Maarif menyampaikan orasi budaya, dengan judul “Kemerdekaan Pers, dan Tanggung Jawab Kebangsaan”, Minggu (20/3) malam.
Awalnya, Saya sempat ragu juga. Apakah Buya Syafii, yang lengkapnya bernama Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif, masih punya jadwal kosong. Sebab, Buya Syafii jelas bukan tokoh sembarangan. Buya adalah mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah (Ormas Islam terbesar di Indonesia), yang telah disebut sebagai bapak bangsa.
Meski mantan ketua umum, sosok ketokohannya belum menunjukkan tanda-tanda memudar. Justru makin menguat, dan menerobos batas-batas etnis, agama, dan negara.
Di tengah mepetnya waktu dan munculnya keraguan, ada beberapa hal yang membuat kami tetap yakin untuk mengundang Buya. Yakni, Buya lahir di Sumpurkudus, Sijunjung, dan Muhammadiyah memang berawal di Yogyakarta, tapi besarnya di Sumbar. Kami membulatkan tekad, Buya mesti hadir di acara kami!
Ke mana Buya akan dihubungi? Apa manajemen yang mengurus, dan siapa sekretaris Buya yang akan dikontak? “Hubungi saja nomor Buya!” Yusrizal KW, mengusul. “Masak tokoh sebesar, dan sepopuler Buya, tak ada yang mengurus,” Saya kurang yakin. Atas bantuan salah seorang budayawan, kami mendapatkan nomor HP Buya. Saya memberanikan diri mengirim pesan singkat (SMS). Isinya, Padang Ekspres ingin mengundang Buya untuk orasi budaya. Tak berselang lama, SMS dibalas Buya. Isinya, Buya setuju, tapi Buya minta waktu tiga hari untuk memastikan. Kami masih belum percaya, bahwa itu benar-benar balasan SMS dari Buya.
Tepat tiga hari, SMS Buya datang lagi. “Bung Montosori, tolong kirim email. Saya mau mengirim makalah.” Saya lagi-lagi belum percaya. Supaya tak terus penasaran, Saya memutuskan untuk bicara langsung dengan Buya. Sebab, sebagai panitia kami tentu harus menyiapkan segala sesuatunya untuk kedatangan Buya. Pakai pesawat apa, mau menginap di mana, ini di antaranya yang tentu harus dikonfirmasi ke Buya. Jawaban Buya di luar perkiraan Saya. “Jangan dipikirkan. Cukup sediakan saja penginapan yang bersih dekat gedung tempat acara. Tak perlu berbintang,” kata Buya. Setelah itu Buya mengirim SMS lagi tentang jadwal penerbangannya dari Yogyakarta-Jakarta-Padang, dan Padang-Jakarta-Yogyakarta. Buya sendiri yang mengurus tiketnya.
***
Di tengah krisis kepemimpinan yang berkelindan dengan keputusasaan mencari teladan, Buya seperti setitik air di padang pasir yang gersang. Kesederhanaan, dan kehidupan Buya yang bersahaja, telah banyak ditulis. Namun Buya masih terus menebar virus keteladanan itu, sehingga apapun yang dibicarakan tentang Buya dan apapun yang dibicarakannya, tak akan pernah kering.
Pada http://iqbalfile.blogspot.com/2010/03/teladan-buya-syafii.html diceritakan, seorang aktivis muda Muhammadiyah menggambarkan kehidupan Buya. Buya sebenarnya bisa menikmati hidup lebih dari yang dimilikinya saat ini. Sebab Buya punya semua modal dasar—kecuali kekayaan—yang diimpikan oleh orang-orang yang rindu ingin disebut pemimpin: kecerdasan, karakter yang kuat, pengikut yang banyak, dan ketokohan.
Di tulisan itu juga disebutkan Buya Syafii hanya punya sebuah rumah pribadi yang cicilannya di bank baru lunas sekitar lima tahun silam. ‘’Uang mukanya adalah upah istri saya saat jadi baby sitter di Chicago,’’ kata Buya. Buya Syafii meraih gelar doktor di Chicago University, Amerika Serikat. Buya juga tak pernah memanfaatkan jabatan dan kekuasaannya sebagai pemimpin organisasi besar untuk keuntungan pribadi, apalagi membarter kebenaran yang diyakininya dengan materi. Buya mengaku pernah ditawari jadi komisaris PT Garuda Indonesia. ‘’Tapi saya menolaknya,’’ kata Buya.
***
Di dalam perjalanan menuju tempat makan dari bandara, Saya melontarkan pertanyaan. “Kenapa Buya tak mengizinkan kami membawa bagasi Buya?” Yang ditanya hanya tersenyum. Buya tak menjawab. Padahal Buya lahir 31 Mei 1935, yang pada 2011 tentu sudah berumur 76 tahun. Jelas sangat jauh untuk disebut masih muda lagi. Saya kembali bertanya. Tapi kali ini soal Sumbar. “Bagaimana menurut Buya, Sumbar yang kemajuannya tak begitu signifikan. Apa ada hubungan dengan pemimpinnya?” Sambil tersenyum Buya menjawab,”Siapa yang mampu bertahan memimpin Sumbar, itu sudah hebat. Apalagi bisa membangun sedikit, itu berarti sudah sangat hebat.”
Jawaban Buya di luar perkiraan. Tapi Saya mencari sendiri pembenaran tentang jawaban Buya. Saya menemukan salah satunya. Dulu waktu di awal-awal menjabat Gubernur, pantas saja, Gamawan Fauzi menyatakan tak akan mencalonkan diri lagi pada periode kedua. Belum habis masa jabatan, Gamawan Fauzi jadi Mendagri. Gubernur Irwan Prayitno pun, dalam sebuah kesempatan mengakui bahwa tugas gubernur sangat berat.
Saat Saya masih tercenung, Buya menukas, “Orang Sumbar yang sanggup bertahan di Sumbar, itu adalah orang kuat. Saya salut pada mereka. Saya tidak kuat makanya Saya merantau (Buya Syafii menetap di Yogyakarta).” Air muka Buya menunjukkan ia begitu serius. “Hidup di Sumbar itu, apalagi jadi pemimpin harus taba talingo, dan muko. Jangan harap bisa hidup atau menjadi pemimpin di Sumbar, kalau tipih talingo,” Buya berpesan.
Maksud Buya? “Orang Minang itu luar biasa. Coba maknai ‘Taimpik nak di ateh, takuruang nak di lua’. Ini cerminan budaya, pola pikir, dan cara hidup orang Minang. Kita tak akan menemui di daerah lain. Kalau pemimpinnya mudah tersinggung, mempertimbangkan semua pendapat, tentu tak ada yang akan bisa dikerjakan,” Buya memperjelas. Saya kembali menodong Buya, “Bagaimana kepemimpinan nasional, Buya?” “Saya khawatir. Ucapan mereka (pemimpin) tak pernah satu dengan perbuatan.” “Bagaimana setelah 2014 (Piplres) Buya?,” “Saya khawatir juga. Sejauh ini tak ada yang benar-benar nampak menonjol bisa memimpin bangsa ini.”
Keesokan harinya, Saya mengirim ucapan terima kasih dan minta maaf karena tak sempat mengantar ke bandara—pagi harinya Saya mesti terbang ke Bandung mengikuti pertemuan Pemred se-Jawa Pos Group—lewat SMS. Buya membalas, “No problem, thanks. Padek’s report today is quite comprehensive on last night ‘ultah’.” Meski hanya sekelumit mengenal Buya, Saya mencoba menyimpulkan pesan dari perkenalan dengan Buya. Bahwa pemimpin atau tokoh itu kerjanya mengurus, bukan diurus. Ucapan dan perbuatan juga mesti sama lurus. (*)
Padang Ekspres • Minggu, 27/03/2011
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus