Selasa, 15 Maret 2011

Tigo Tungku Sajarangan

oleh Montosori

Eksistensi “Tigo Tungku Sajarangan, Tigo Tali Sapilin” (Ninik Mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai) masih sangat dibutuhkan. Khusus peranan dalam pembangunan, dan untuk kemajuan Sumbar, sejak dulu hingga kini memang tak terbantahkan. Namun, sejalan bergulirnya waktu, berkembangnya zaman, majunya teknologi di semua bidang, peran itu mulai tergerus. Tak pelak, bila “Tigo Tungku Sajarangan” tak mengikuti semua perkembangan itu, suatu ketika—ini yang paling ditakutkan—bukan tidak mungkin, “Tigo Tungku Sajarangan” hanya tinggal simbol.

Bicara “Ninik Mamak” (pemuka dan tokoh adat) sekarang, bukan rahasia lagi, cukup banyak yang tak lagi mampu memerankan “status” itu.  Banyak yang disebut “Ninik Mamak”, yang tak bisa menjadi panutan para anak kemenakan (baca: generasi muda). Tak jarang seorang “Ninik Mamak”, hanya tinggal nama saja, sementara eksistensinya (untuk kemajuan) tidak ada. Jangankan untuk nagari atau daerah, untuk kaumnya sendiri ia tak berfungsi.

Jumat, 11 Maret 2011

Kepercayaan

oleh Montosori (Maret 2011)

Tanpa kepercayaan, Anda akan sendirian walaupun berhasil mencapai tujuan yang Anda inginkan. Tidak ada orang yang dapat Anda ajak untuk menikmati kemenangan Anda.
Brian Klemer (Penulis)

Tidak hanya dalam berbangsa, persoalan atau krisis kepercayaan sebetulnya sejak lama telah merambah jauh ke dalam kehidupan kita. Di kantor-kantor, misalnya, banyak pimpinan tak lagi percaya kepada bawahannya. Sang pimpinan merasa dipecundangi, tak didukung, dan bahkan menuduh anak buahnya mengadu domba dirinya. Sebaliknya juga demikian, bawahan tak percaya, atasannya akan memperjuangkan nasib mereka. Sang bawahan merasa akan selalu tertindas, dan yang akan dapat perhatian dari atasan, hanya orang-orang “tertentu” saja yang “dekat” dengan pimpinan. Sesama bawahan tak jarang juga saling curiga, dan saling menjatuhkan.

Bersatu Lawan Korupsi

oleh Montosori (Maret 2011)

Untuk memberantas korupsi, masih diperlukan upaya lebih keras lagi.
Tidak saja dalam hal penegakan hukum, tapi juga pada upaya preventif, berupa pendidikan tentang pemberantasan dan gawatnya korupsi itu sendiri. Sebab, mengandalkan upaya penindakan saja, niscaya tak akan pernah berhasil mengikis habis korupsi di bumi Indonesia, bila tidak didukung kesadaran untuk tidak berperilaku korupsi oleh semua lapisan masyarakat. Terutama, aparatur pemerintah.

Penindakan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan, sedikit banyaknya memang telah memberikan efek takut pada para pejabat untuk melakukan korupsi. Namun, itu bukan berarti tak ada lagi pejabat yang berniat untuk korupsi, atau kini mungkin sedang melakukan korupsi. Sebab, semakin gencar tindakan pemberantasan korupsi, si koruptor pun akan berusaha keras menemukan cara yang lebih canggih untuk korupsi.

Rapat Mancik

oleh Montosori (10 Maret 2011)

Seni memimpin adalah seni mengatakan “tidak”, karena mengatakan “ya” itu sangat mudah.
(Tony Blair, mantan Perdana Menteri Inggris)

Ini cerita fiksi lama yang punya banyak pesan. Kisahnya tentang bangsa tikus—di Minang disebut mancik—sedang menghadapi masalah besar. Keselamatan dan keberlangsungan hidup mereka sedang terancam. Bangsa kucing yang biasa memangsa mereka semakin ganas, merajalela. Hampir setiap hari ada saja rumah (sarang) mancik yang diobrak-abrik. Hampir setiap saat jatuh korban, karena keganasan bangsa kucing.

Raja mancik yang terkenal “bijaksana” dan dermawan, hanya karena selalu memenuhi
keinginan rakyatnya, lalu menggelar rapat mendadak. Semua tokoh, pemikir, pengamat, dan aktivis bangsa mancik dikumpulkan. Semua yang hadir diharapkan menyampaikan pendapat untuk mengatasi serangan bangsa kucing yang semakin ganas, dan semakin canggih.

Gedung yang Mana?

oleh Montosori (25 November 2010)

Begitu mungkin pertanyaan yang masih bertengger di benak warga yang tinggal atau sering beraktivitas di pinggir pantai: di Padang, Pesisir Selatan, Pariaman, Padangpariaman, Agam, dan Pasaman Barat. Betapa tidak, sewaktu-waktu, tanpa diduga gempa bisa mengguncang, dan tsunami langsung menerjang. Pertanyaan di atas, jelas bukan bentuk kecemasan, apalagi kepanikan. Pertanyaan itu lebih pada dorongan untuk bersikap lebih siap dan siaga, jika bencana gempa dan tsunami terjadi.

Sejak gempa 7,2 skala Richter disusul tsunami melanda Kepulauan Mentawai akhir pekan lalu, analisa, pendapat, dan prediksi pakar, telah menghiasi media massa. Silang pendapat sempat terjadi. Ada yang menuding Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) terlalu cepat mencabut peringatan dini tsunami, sehingga banyak korban berjatuhan. Ada pula yang membela, bahwa langkah BMKG telah tepat, karena mencabut peringatan dini tsunami sejam setelah gempa. Terakhir malah terungkap, bahwa alat peringatan dini tsunami tak berfungsi baik, banyak bagian sistem yang rusak. Khususnya alat sensor berupa buoy yang ditempatkan di sejumlah perairan Indonesia. Sirene peringatan dini tsunami juga tak ada di Mentawai. Artinya peringatan dini tsunami, saat bencana itu terjadi tak ada pengaruhnya pada jatuhnya korban jiwa, karena memang belum bisa diandalkan.

GAWAT

oleh Montosori (16 Juli 2010)

Ratusan anak menderita gizi buruk. Hampir tiap bulan, ada saja bayi yang dibuang, ditelantarkan, bahkan dibunuh sebelum lahir (aborsi). Lalu menyeruak lagi informasi menghebohkan, sebanyak 162 orang terindikasi tertular HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome), penyakit yang sangat mematikan. Semua ini sedang terjadi di Sumatera Barat, Ranah Minang.

Mengapa hal-hal gawat, dan memalukan di atas bisa terjadi? Jawabannya bisa melebar ke sana ke mari. Semua bisa dipersalahkan, tergantung kita mau menyalahkan siapa.

Pemerintah, jelas sangat layak dianggap paling bertanggung jawab. Sebab, kendali negeri ini ada pada pemerintah. Bisa saja, kita menganggap hal-hal buruk itu terjadi, karena pemerintah tak bekerja dengan baik. Pemerintah tak becus, hanya memikirkan kekuasaan belaka.

Nasib Kita Penonton

oleh Montosori (15 Juni 2010)

KITA seperti telah “ditakdirkan” menjadi penonton sejati piala dunia. Paling tidak untuk berpuluh tahun ke depan. Sebelumnya memang disebut-sebut Indonesia telah menyatakan diri siap menjadi tuan rumah piala dunia 2018 atau 2022. Tapi tentu saja, ini sangat kecil kemungkinannya, bila tak harus mengatakan mustahil. Lagi pula, apa Federasi Persatuan Sepakbola Dunia atau FIFA/Federation Internationale de Football Association mau mendukung ide ‘gila’ itu?

Sudahlah…Seperti di awal tulisan ini, kita memang bernasib kurang beruntung. Ups, jangan buru-buru putus asa dulu. Kita semua paling tidak meyakini bahwa nasib itu bukan ditentukan dari langit. Tapi oleh kita sendiri! Kita bisa mengubah nasib buruk itu menjadi lebih baik. Nah, untuk sekadar pemacu semangat bagaimana kita ikut sebagai peserta piala dunia, atau kalau bisa sekaligus menjadi tuan rumah, kita coba hitung-hitung saja dulu, berapa sich keuntungan piala dunia?

Pemimpin Doa

oleh Montosori (20 Juni 2009)

Bulan lalu, beberapa kali saya harus bolak-balik dari Padang (tempat tinggal dan tempat kerja)—kampung halaman saya, Ujung Bukit Gurun Panjang, Kenagarian Kapuh, Kecamatan Koto XI Tarusan, Pesisir Selatan. Maklum, mamak kandung (kakak kandung ibu) saya meninggal dunia. Selain mamak bagi saya, dia juga ninik mamak di kaum kami, suku Tanjuang. Makanya ikut menyelenggarakan jenazahnya, hukumnya bagi saya sebagai “kamanakan” adalah “wajib”. Saya bersyukur bisa menunaikan kewajiban saya itu.

Setelah pemakaman, saya juga mengikuti ritual berdoa bersama malam hari di rumah duka, atau di kampung saya disebut “sidakah kaji” (sedekah doa). Para pemuka kaum/suku, adat, dan sebagian bapak-bapak hadir. Rumah dukan pun penuh. Pada pembuka “sidakah kaji”, para pemuka kaum/suku berpetatah-petitih lebih dulu. Isinya, mengkonfirmasi kelengkapan semua unsur kaum/suku dan adat yang datang, dan menjelaskan untuk siapa “kaji” atau doa dialamatkan.

Coki

oleh Montosori (19 Mei 2009)

Di Sumbar ada istilah “coki duo nokang”, dan “tabukak coki”. Istilah itu diambil dari bahasa yang biasa digunakan dalam permainan kartu “ceki”, atau lebih dikenal di Sumbar dengan “koa”. “Coki duo nokang” artinya seorang pemain yang tinggal selangkah lagi (coki) untuk menang, punya dua kesempatan. Dia tak melulu menunggu satu jenis kartu. Dengan kartu jenis lain pun dia bisa menutup permainan dengan kemenangan.

Sementara itu “tabukak coki” artinya kartu (kesempatan) yang ditunggu-tunggu untuk menang diketahui oleh lawan. Sehingga lawan akan berusaha bagaimana kartu yang ditunggu itu tidak muncul. Atau dengan kata lain, lawan akan berusaha agar yang “coki” tidak menang. Sebab, itu berarti kerugian bagi si lawan. Semua pemain pasti ingin jadi pemenang. Kalau yang “coki” hanya satu orang, pemain yang lain akan “mengeroyok” agar—minimal—menunda kemenangan yang sedang “coki” tersebut.